MENGAPA RIUH ASAS "DOMINUS LITIS" KEJAKSAAN TERUS BERLANJUT?

  • Penulis: Dr. Hijriani, S.H., M.H
  • 27 Mar 2025
  • 152 Kali Dibaca

Oleh :

Dr. Hijriani, S.H., M.H

(Akademisi Universitas Sulawesi Tenggara)

 

Konsep Dominus Litis dalam revisi terbaru KUHAP menjadi perdebatan hangat di kalangan masyarakat. Istilah ini berasal dari bahasa Latin yang berarti "penguasa perkara", atau bisa juga diartikan sebagai "pihak yang mengendalikan jalannya perkara". Dalam hukum pidana, istilah ini merujuk pada pihak yang memiliki kewenangan utama untuk menentukan apakah suatu perkara layak dilanjutkan ke pengadilan. Di sistem civil law, peran ini dipegang oleh jaksa penuntut umum.

Kejaksaan sendiri adalah lembaga non-departemen yang tidak berada di bawah kementerian mana pun, dan dipimpin oleh Jaksa Agung yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Tugas utama kejaksaan dalam sistem peradilan pidana Indonesia meliputi melakukan penuntutan (sebagai dominus litis), serta penyidikan untuk tindak pidana tertentu, seperti korupsi. Jaksa juga berhak menilai hasil penyidikan kepolisian, menolak hasil penyidikan jika diperlukan, dan memberikan saran untuk penyidikan lanjutan. Selain itu, kejaksaan bertanggung jawab untuk mengeksekusi segala bentuk putusan pemidanaan, termasuk hukuman mati.

Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, Pasal 1 ayat 3 menegaskan bahwa kekuasaan negara harus diselenggarakan berdasarkan hukum yang baik dan adil. Sementara itu, Pasal 24 ayat 1 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman harus bebas dari campur tangan pihak lain. Setiap lembaga penegak hukum memiliki pengaturan kewenangan masing-masing agar tidak saling campur tangan. 

Kepolisian diatur melalui PERKAPOLRI, kejaksaan melalui PERJA, dan pengadilan melalui SEMA. Masing-masing lembaga memiliki tugas yang jelas: kepolisian untuk penyidikan, kejaksaan untuk penuntutan, dan pengadilan untuk menjatuhkan putusan.

Kejaksaan berperan sebagai penghubung antara proses penyidikan dan pemeriksaan di pengadilan, sehingga mereka menjadi pelaksana putusan pengadilan. Inilah yang membuat Kejaksaan RI menjadi lembaga yang mengendalikan proses pelaksanaan perkara karena mereka satu-satunya lembaga yang berwenang menentukan apakah suatu perkara pidana akan dilanjutkan ke pengadilan atau tidak.

Namun, penerapan asas Dominus Litis dalam draf revisi KUHAP ini menuai kritik. Ada kekhawatiran bahwa hal ini dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan antara kejaksaan dan kepolisian. Dalam sistem hukum acara pidana, masing-masing lembaga seharusnya memiliki kewenangan tersendiri tanpa saling tumpang tindih. Selain itu, ada juga risiko bahwa terlalu banyak kewenangan pada jaksa dapat mengarah pada penyalahgunaan wewenang.

Sering kali kita mendengar bahwa penyidik menyatakan suatu perkara sudah cukup bukti, tetapi jaksa bisa saja menilai kembali dan memutuskan lain. Kondisi ini bisa memicu ketegangan antara kedua pihak dan menimbulkan perdebatan berkepanjangan. Kewenangan besar tanpa pengawasan yang kuat dapat memicu potensi penyalahgunaan oleh kejaksaan.

Dalam penanganan tindak pidana, ada tiga tahapan penting: penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sayangnya, KUHAP saat ini hanya memberikan tiga alasan yang sangat terbatas untuk menghentikan penyidikan, dan mediasi penal (upaya damai) tidak termasuk di dalamnya. 

Padahal, di tingkat penuntutan, jaksa sebenarnya punya kewenangan yang lebih luas berkat asas dominus litis.

Sebagai dominus litis, Jaksa Agung bahkan bisa mengesampingkan suatu perkara demi kepentingan umum. Kewenangan ini sangat eksklusif, hanya Jaksa Agung yang punya, tidak ada penegak hukum lain. Di Belanda, konsep ini lebih maju lagi, asas oportunitas (kesempatan) justru jadi kewenangan setiap jaksa, bukan cuma Jaksa Agung. Asas ini memperkuat posisi jaksa sebagai dominus litis dalam perkara pidana.

Idealnya, penuntut umum bisa menggunakan kewenangannya sesuai asas dominus litis, seperti yang diatur dalam Pasal 139 KUHAP dan Pasal 140 Ayat (2) huruf a KUHAP, untuk menghentikan penuntutan jika perkara sudah diselesaikan melalui keadilan restoratif. Jadi, perkara bisa ditutup demi hukum. Kebijakan ini penting banget, mengingat kejaksaan punya posisi strategis dalam penegakan hukum sebagai master of process atau dominus litis. Salah satu tugasnya adalah menyaring perkara pidana dan menentukan apakah suatu perkara perlu diteruskan ke pengadilan atau tidak, dengan mempertimbangkan tujuan hukum yang lebih luas.

Asas dominus litis menegaskan bahwa hanya penuntut umum yang berhak melakukan penuntutan, sifatnya absolut dan monopoli. Jadi, hakim pun tidak bisa memaksa suatu perkara diajukan kepadanya. Hakim dalam menyelesaikan perkara hanya bersifat pasif, menunggu tuntutan dari penuntut umum.

Tapi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

- Penerapan asas dominus litis dalam draf revisi KUHAP berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara kejaksaan dan kepolisian. Penguatan asas ini bisa membuat kewenangan kedua lembaga menjadi bentrok.

- Penerapan asas dominus litis dalam revisi UU Kejaksaan juga dianggap bertentangan dengan asas diferensiasi fungsional dalam hukum acara pidana. Padahal, idealnya setiap lembaga punya kewenangan masing-masing yang tidak tumpang tindih.

- Asas ini juga bisa merusak integritas kejaksaan jika ada penyalahgunaan wewenang atau bahkan kejahatan dalam jabatan.

- Ada kekhawatiran kalau penerapan asas dominus litis bisa memberikan kewenangan yang berlebihan kepada jaksa. Ingat, kewenangan itu harus ada batasnya, jangan sampai overlapping.

- Seringkali penyidik merasa sudah punya cukup bukti dalam suatu perkara, tapi jaksa punya wewenang untuk menilai kembali. Kondisi ini bisa memicu gesekan antara kedua pihak dan menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan.

Intinya, penerapan asas dominus litis punya dampak yang cukup besar terhadap kebebasan hukum dan keadilan, ada potensi manfaat sekaligus risiko. Beberapa risikonya:

1. Kewenangan yang terlalu besar tanpa pengawasan yang ketat bisa memicu penyalahgunaan wewenang oleh kejaksaan. Jaksa bisa saja bertindak subjektif atau dipengaruhi tekanan dari luar.

2. Asas ini bisa menyebabkan pergeseran kewenangan dari polisi ke jaksa, yang berpotensi menimbulkan ketegangan antar lembaga.

3. Tanpa sistem pengawasan yang efektif, kejaksaan bisa menggunakan kewenangannya secara tidak proporsional, baik dalam menentukan apakah suatu perkara layak dilanjutkan ke pengadilan maupun dalam menghentikan kasus tertentu berdasarkan kepentingan subjektif. Ini bisa mengancam prinsip keadilan dan independensi peradilan, apalagi kalau ada intervensi politik atau kepentingan lain yang mempengaruhi keputusan penuntutan.

4. Masyarakat bisa kesulitan mengakses keadilan jika jaksa punya kewenangan penuh untuk menilai apakah suatu perkara layak diteruskan atau tidak. Selain itu, kejaksaan juga punya wewenang untuk memberikan instruksi yang mengikat kepada penyidik dalam menentukan arah penyelidikan, yang berpotensi mengurangi independensi penyidik.

Jadi, apa yang bisa dilakukan? Yang paling penting adalah koordinasi yang baik antara polisi dan jaksa. Perlu memastikan ada tim terpadu yang terdiri dari penyidik dan penuntut yang bekerja sama dalam menangani kasus. Dengan begitu, tidak ada lagi ego sektoral dan semua pihak bisa fokus pada pencarian keadilan.

Selain itu juga perlu memperkuat pengawasan eksternal terhadap kejaksaan, memastikan proses penuntutan berjalan transparan, dan melibatkan masyarakat dalam mengawasi dan memastikan keadilan berjalan dengan baik.

Perlu juga mewujudkan integrated justice system, yaitu sistem peradilan yang terintegrasi berdasarkan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing lembaga. Sistem ini akan berfungsi dengan baik jika setiap masalah bisa diselesaikan dengan efektif. Intinya, semua pihak harus bekerja sama untuk mewujudkan sistem peradilan yang lebih baik dan adil bagi semua.

Penulis : Dr. Hijriani, S.H. M.H.