- Advertorial
- 2 bulan yang lalu
Praktisi Hukum Nilai Usulan Pergantian Ketua DPRD Sultra sebagai Bentuk Arogansi Partai
- Reporter: LM Ismail
- Editor: Dul
- 04 Des 2025
- 8053 Kali Dibaca
Praktisi Hukum, Abdul Razak Said Ali, S.H. Foto: pribadi
KENDARI, KERATONNEWS.CO.ID – Praktisi huku, Abdul Razak Said Ali, S.H., menyoroti tajam usulan pergantian Ketua DPRD Sulawesi Tenggara (Sultra) yang diajukan DPW Partai NasDem. Ia menyebut langkah tersebut sarat kepentingan politik dan berpotensi menjadi bentuk arogansi partai terhadap jabatan publik.
Razak menjelaskan, jabatan pimpinan DPRD, termasuk ketua, berlaku sejak pengucapan sumpah dan berakhir bersamaan dengan masa jabatan keanggotaan DPRD. Karena itu, pergantian pimpinan tidak dapat dilakukan sembarangan.
Dalam regulasi, khususnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, disebutkan bahwa pimpinan DPRD dapat diberhentikan jika terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik berdasarkan keputusan Badan Kehormatan, atau melalui usulan partai politik sesuai ketentuan perundang-undangan.
Namun, Razak menilai kondisi saat ini tidak memenuhi alasan pertama. “Ketua DPRD Sultra diusulkan diberhentikan bukan karena terbukti melanggar sumpah atau kode etik, melainkan semata-mata karena diusulkan oleh partainya,” ujarnya.
Ia mempertanyakan apakah kewenangan partai tersebut telah dijalankan secara benar, atau justru digunakan secara sewenang-wenang. Menurutnya, publik Sultra berhak mengetahui dasar yang dipakai partai dalam mengusulkan pergantian tersebut.
Razak mengungkapkan, alasan yang digunakan partai adalah karena Ketua DPRD dianggap terlalu dekat dengan Gubernur Sultra. Hal ini, kata dia, justru menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat. “Kedekatan seperti apa yang dimaksud, sehingga bisa menjadi dasar untuk memberhentikan seorang ketua DPRD?” katanya.
Menurutnya, sebagai negara hukum, segala tindakan dalam pemerintahan harus berlandaskan peraturan perundang-undangan. Faktanya, tidak ada satu pun regulasi yang melarang atau membatasi kedekatan antara ketua DPRD dan gubernur.
Razak menegaskan, dalam sistem pemerintahan daerah dikenal forum Forkopimda yang bertujuan menunjang pelaksanaan urusan pemerintahan umum. Pada level provinsi, Forkopimda dipimpin gubernur, sementara ketua DPRD merupakan salah satu anggotanya bersama Kapolda dan Kajati.
“Secara natural, memang ketua DPRD harus dekat dengan gubernur demi kelancaran pemerintahan. Justru aneh kalau ketua DPRD tidak dekat dengan gubernur, Kapolda, atau Kajati,” jelasnya.
Ia menegaskan, jika pimpinan DPRD tidak menjalankan hubungan koordinatif tersebut, yang akan dirugikan adalah masyarakat. Kekompakan Forkopimda dinilai sangat menentukan stabilitas dan efektivitas pemerintahan daerah.
Razak kemudian menyimpulkan bahwa usulan pergantian Ketua DPRD Sultra tersebut patut diduga tidak berdasar pada ketentuan hukum. Ia bahkan menyebut langkah itu sebagai bentuk kesewenang-wenangan dan arogansi partai politik yang berpotensi mengorbankan kepentingan publik.
“Usulan ini cenderung pragmatis dan sangat mungkin menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat Sulawesi Tenggara,” tegasnya.
Ia berharap seluruh fraksi dan pimpinan DPRD Sultra, serta Gubernur Sultra, dapat mengambil sikap bijak dalam menyikapi usulan tersebut. Menurutnya, kepentingan masyarakat dan kondusifitas daerah harus menjadi prioritas utama dibanding kepentingan politik kelompok tertentu.
“Kami berharap semua pihak mengedepankan kepentingan rakyat Sultra,” pungkas Razak. (C)