- Advertorial
- 4 minggu yang lalu
PMK Desak Kapolri Copot Kapolda Sultra Soal Lambannya Tangani Kasus Mafia Tanah yang Seret Iptu Naswar
- Reporter: LM Ismail
- Editor: Dul
- 05 Sep 2025
- 8127 Kali Dibaca

Kapolda Sultra, Irjen Pol Didik Agung Widjanarko. Foto: Ist
KENDARI, KERATONNEWS.CO.ID - Desakan agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mencopot Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara, Irjen Pol Didik Agung Wijdanarko, kian menguat. Pergerakan Mahasiswa Keadilan (PMK) Sulawesi Tenggara menilai jenderal bintang dua itu lamban menangani kasus dugaan mafia tanah yang menyeret seorang perwira polisi, Iptu Naswar.
“Kami mendesak Kapolri mencopot Kapolda Sultra. Kasus ini serius, menyangkut integritas kepolisian,” kata Ismail Marcos, Ketua PMK Sultra, di Jakarta, Jumat, 5 September 2025.
PMK menuding Kapolda Sultra terkesan melindungi Naswar, yang kini bertugas di Polres Kolaka Utara. Padahal, laporan korban bernama Awaluddin sudah masuk sejak 21 Juli 2025 melalui kuasa hukumnya, Abdul Razak. Hingga kini, perkara itu tak kunjung mendapat titik terang.
Ismail menilai data dan fakta yang dituangkan dalam aduan Awaluddin sudah cukup terang: ada dugaan kongkalikong, pemerasan, hingga pemalsuan dokumen. Ironisnya, kata Ismail, di tubuh Polri sendiri terdapat Satgas Anti Mafia Tanah yang bekerja sama dengan Kementerian ATR/BPN. “Tapi justru di Polda Sultra, ada perwira yang diduga menjadi mafia tanah,” ujarnya.
PMK Sultra berencana menggelar aksi besar di Mabes Polri pada 10 September mendatang. Ratusan mahasiswa dari Sultra yang kini berada di Jakarta akan ikut turun mendesak pencopotan Didik Agung. “Presiden Prabowo harus memberi atensi. Korban sudah bertahun-tahun menanti keadilan,” kata Ismail.
Kapolda Sultra Didik Agung memilih bungkam ketika dikonfirmasi Pikiran Lokal, 1 September lalu. “Nanti ya saya jawab,” katanya singkat.
Nama Iptu Naswar, mantan Kepala Satuan Intelijen Polres Kolaka Utara, muncul dalam kasus sengketa rumah milik Awaluddin. Rumah seharga Rp 500 juta itu sudah dibeli lunas sejak 2014. Sertifikat sempat dititipkan di notaris, sebelum kemudian dijadikan jaminan pinjaman Rp 250 juta kepada Naswar pada 2016.
Menurut Abdul Razak, kuasa hukum korban, Naswar tak sekadar memegang sertifikat, tapi juga diduga mengambil alih rumah itu. Awaluddin, yang semula tinggal di sana, mendapati kunci rumah sudah diganti. “Rumah ini sudah milik saya,” kata Naswar kala itu, seperti ditirukan Razak.
Belakangan rumah itu berpindah tangan beberapa kali, dari Sony ke Syahrir, lalu ke seorang bernama German. Pola transaksi yang berlapis-lapis inilah yang disebut Abdul Razak sebagai pola klasik mafia tanah. “Ini sudah jelas modus mafia tanah. Sertifikat dijadikan jaminan, lalu hilang dari pemilik sahnya,” ujarnya.
Awaluddin merugi Rp 250 juta. Ia melaporkan Naswar, Sony, dan Syahrir dengan tuduhan pemerasan, pemalsuan dokumen, pemberian keterangan palsu dalam akta, hingga penadahan.
Namun laporan itu tak kunjung diproses tuntas. “Kami meminta Kapolda Sultra mengusut kasus ini dengan transparan, tanpa pandang bulu,” ujar Abdul Razak. (C)