Kalah Bersaing, Gerabah Tanah Liat Minim Peminat dan Terancam Punah

  • Reporter: Bardin
  • Editor: Dul
  • 11 Mei 2024
  • 2636 Kali Dibaca

BAUBAU, KERATONNEWS.CO.ID – Kerajinan gerabah tanah liat yang pernah jaya di Kota Baubau khususnya di Kelurahan Lipu dan Katobengke kini terancam punah. Saat ini pengrajin gerabah tinggal hitungan jari. Itupun sudah jarang memproduksi.

Ibu Malia, salah satu keluarga di kelurahan Lipu yang hingga kini masih tetap melakoni kegiatan pembuatan gerabah mengaku aktivitas yang dilakukan kini sangat berbeda. Selain bahan baku yang langka, produk yang dihasilkan juga kalah bersaing dengan buatan pabrik.

“Kita sudah jarang bikin gerabah, meskipun masih tetap jalan. Kita sekarang kecuali ada yang pesan baru bikin. Itu juga tidak sering orang pesan,” kata Ibu Malia di Baubau Sabtu (11/5/2024).

Untuk produk yang dihasilkan kata Ibu Malia, sebagian dibawa ke pasar wameo. Disana ada penjual gerabah yang menjadi pemasok. Itupun diakuinya jumlah yang dipasok juga tinggal belasan dalam waktu tertentu.

“Ada langganan kita di pasar wameo, kita selalu bawa disana. Kadang kadang mereka pesan kalau ada yang butuhkan untuk acara adat,” tambah Ibu Malia.

Untuk harga jual setiap gerabah jenis kendi hanya dibandrpl dengan harga Rp 10 ribu. Itupun saat ini sudah jarang digunakan untuk alat memasak. Namun dibutuhkan untuk hiasan dan kelengkapan ritual.

Muhammad Saleh, salah seorang pemerhati budaya mengatakan, kerajinan gerabah di Lipu Katobengke pernah menjadi sentra produksi yang besar. Namun, itu sebelum produk buatan pabrik beredar. Karena saat itu gerabah sebagian besar digunakan untuk memasak.

“Dulu di tahun 80 an kita masih menemukan sebagian besar masyarakat khususnya di Buton memasak dengan menggunakan gerabah dari tanah liat. Tapi sekarang sudah banyak menggunakan panic dari logam aluminium. Itulah sebabnya, gerabah perlahan lahan punah karena kurang peminat,” katanya.

Salah menyampaikan apresiasi kepada beberapa keluarga yang masih tetap setiap mempertahankan tradisi pembuatan gerabah. Ia berharap sentra ini dapat dijadikan destinasi wisata.

“Kalau tidak bisa bersaing dari sisi produk, mungkin bagus tetap dipertahankan untuk destinasi wisata. Mungkin untuk bahan pembelajaran dan memberikan pemahaman kepada generasi muda untuk mencintai peninggalan leluhur,” tutur Muhammad Saleh. (B)