Mahar Politik "Uang Panai" Calon Pemimpin di Negeriku

  • Penulis: SISWANTO AZIS
  • 09 Mar 2023
  • 529 Kali Dibaca

Oleh : SISWANTO AZIS

Pimpinan Redaksi KERATONNEWS.CO.ID

 

Uang panai pada tradisi adat Suku Bugis dan Makassar adalah uang belanja yang diberikan kepada calon sang mempelai perempuan untuk ongkos keperluan selama proses pernikahan. Uang panai ini bisa termasuk mahar (maskawin), erang-erang (seserahan) dan sompa.?á

Untuk mencapai berapa nilai uang panai ada proses negosiasi, ada yang anteng saja dan ada yang sampai alot mesti beberapa kali ?Ç£mabbicara?Ç¥ dengan orang berpengaruh pada masing-masing keluarga calon penganten. Biasanya dengan diserahkannya uang panai berarti disetujuinya semua prosesi adat hingga sang mempelai laki-laki sah menjadi pemimpin keluarga.

Uang panai diberikan sesuai dengan kelasnya, dari kecantikan, keturunan, pendidikan, pekerjaan atau mungkin statusnya (gadis/janda). Terlepas dari apapun motivasi yang melatarbelakangi, apakah itu berbicara tentang nilai perempuan, sejarah adat ?Ç£uang panai?Ç¥ itu sendiri, kontroversi ataupun akibat yang ditimbulkan ?Ç£uang panai?Ç¥ di mata masyarakat, faktanya adat ini masih berlangsung secara turun temurun di kalangan Suku Bugis dan Makassar.

Jumlah uang panai yang terkenal mahal kerap dipertanyakan sebagian orang yang tidak sepenuhnya faham dengan adat budaya Bugis Makassar. Secara histori dahulu para orangtua ingin melihat keseriusan calon pengantin pria dalam melamar anak gadisnya sehingga sang calon pengantin betul-betul mengupayakan uang panai untuk mendapatkan wanita pujaan hatinya.

Lalu apa kaitan Mahar Politik dengan ?Ç£Uang Panai?Ç¥? Jika ditelisik secara umum, seperti ada persamaan antara Mahar Politik dan Uang Panai, misalnya saja untuk mencapai tujuan, seseorang wajib menyerahkan sejumlah uang agar bisa menjadi pemimpin (pemimpin rumah tangga/pemimpin daerah).

Mahar Politik kemudian menjadi diksi yang popular belakangan ini setelah beberapa aduan tokoh politik yang gagal menjadi calon kepala daerah dan mengikuti kontestasi politik.?á

Menjelang pesta pemilihan kepala daerah pada Juni 2024 situasi persaingan bakal calon kepala daerah semakin panas, mereka yang maju bukan dengan jalur independen, bergerilya untuk merebut rekomendasi partai-partai yang memiliki banyak kursi di lembaga Legislatif. Isu nilai mahar politik itupun fantastis, nilainya bisa mencapai puluhan bahkan milyaran. Untuk mencapai kesepakatan nilai itupun kabarnya melalui negosiasi, jika deal maka bakal calon kepala daerah segera mengantongi rekomendasi.?á

Yang ironis?á pertimbangannya bukan seberapa integritas, jujur, berprestasi, pengalaman atau berhasil nya para bakal calon kepala daerah terhadap profesi atau sepak terjangnya, akan tetapi berapa banyak uang yang dikantongi oleh bakal calon untuk membiayai cost politik yang begitu mahalnya. Jelas sekali praktik ini bersifat transaksional, seakan separuh badan bakal calon telah tersandera oleh deal-deal yang terbangun dengan partai pengusungnya.?á

Bahkan banyak kejadian kepala daerah yang menggadaikan integritasnya sehingga membuka ruang?á untuk terlibat dalam korupsi, boleh jadi ?Ç£mahar politik?Ç¥ menjadi pemicunya.?á?á

Tak bisa ditampik biaya untuk maju di pilkada sangat besar, hitung-hitungan partai untuk membiayai ongkos kampanye dan saksi pastilah dibebankan kepada bakal calon, itulah mengapa beberapa partai politik menganggap mahar politik sebagai konsekuensi dari sistem demokrasi melalui pilkada langsung.

Mahar politik ini seperti transaksi yang tidak dapat terdeteksi, berbeda dengan ?Ç£Uang Panai?Ç¥ yang biasanya diumumkan oleh pihak keluarga calon mempelai perempuan untuk menegaskan gengsi dan posisi mereka di masyarakat, mahar politik masih malu-malu untuk diumbar ke publik, karena makna yang masih ambigu, dan terkesan disamarkan oleh partai politik. Ada yang menyebutnya sebagai iuran, biaya-biaya operasional pilkada atau sumbangan bakal calon kepala daerah.

Secara hukum, praktik mahar politik secara spesifik tidak diatur dalam UU, akan tetapi dapat diberikan sanksi pidana dan sanksi pelanggaran pemilu, apabila ada indikasi, terbukti dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap sebagaimana diatur dalam beberapa pasal UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada : Pasal 187 huruf b, menyatakan ?Ç£Anggota Partai Politik atau anggota gabungan Partai Politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).?Ç¥

Kemudian Pasal 187 huruf c, menyatakan ?Ç£Setiap orang atau lembaga yang terbukti dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan pidana penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).?Ç¥

Disinilah peran Bawaslu yang harus secara tegas menindaklanjuti indikasi praktek mahar dalam proses kontestasi politik di Negara ini, Bawaslu perlu membuat strategi dalam membongkar setiap indikasi tersebut, apakah masih dalam batasan sesuai yang diatur dalam UU ataukah tidak. Jangan sampai Negeri ini tergadai dengan praktek transaksi politik bakal calon untuk meraih kekuasaan, sehingga menanggalkan janji-janji politik dan kepentingan masyarakat di daerah.

Selanjutnya perlu diatur secara jelas dalam UU Pilkada tentang sumbangan dana kampanye, meliputi pembatasan nilai dana kampanye, asal muasal dana kampanye, serta aturan yang jelas tentang dana saksi. Dengan adanya aturan tersebut diharapkan celah dalam meng-interpretasikan dana kampanye dan dana saksi tidak disalahgunakan oleh partai politik, sehingga dengan jalan tersebut diharapkan mampu menghasilkan kepala daerah yang terpilih secara demokratis, punya integritas serta terciptanya iklim demokrasi yang bersaing dan sehat. (*)