Warga Kabaena Barat Menjerit Akibat Tambang PT. Timah Investasi Mineral dan Trias Jaya Agung

  • Reporter: La Niati
  • Editor: Dul
  • 16 Apr 2025
  • 3011 Kali Dibaca

KENDARI, KERATONNEWS.CO.ID - Dua perusahaan tambang nikel, PT. Timah Investasi Mineral dan PT Trias Jaya Agung, disebut menjadi biang kerusakan lingkungan dan penderitaan warga di pesisir Desa Baliara, Kecamatan Kabaena Barat.

Aktivitas pertambangan yang semakin masif tak hanya merusak ekosistem laut, tapi juga memukul ekonomi, memicu krisis kesehatan, hingga merenggut rasa aman masyarakat.

Desa Baliara bukan sekadar titik koordinat di peta Sultra. Ia adalah rumah bagi sekitar 300 kepala keluarga yang hidup dari laut. Dulu, dalam setengah hari melaut, nelayan bisa membawa pulang Rp600.000–Rp700.000. Tangkapannya rutin dikirim ke pasar-pasar besar, termasuk ke Makassar.

Sejak tambang beroperasi, air laut menjadi keruh, bercampur endapan ore nikel yang diduga berasal dari kegiatan pertambangan di daratan. Ikan-ikan menghilang. Rumput laut tak lagi tumbuh. Budidaya keramba merugi. Kini, nelayan hanya bisa membawa pulang sekitar Rp200.000, meski sudah melaut sejak subuh hingga malam.

Yang lebih menyakitkan, warga bahkan takut mengonsumsi ikan dari laut mereka sendiri.

“Dulu kami bangga hidup dari laut. Sekarang laut jadi sumber kecemasan. Anak-anak kami tak lagi aman bermain di pantai. Air membuat gatal, ikan pun tak bisa dimakan,” kata Ibu Rahma, salah satu warga Baliara, Rabu (16/4/2025). 

Selain itu, banjir menjadi peristiwa yang makin sering terjadi sejak aktivitas tambang dimulai. Terjadi sedimentasi di aliran air dan kawasan pesisir. Dalam kurun 2018 hingga 2025, seorang balita bahkan dilaporkan tenggelam dan hilang di perairan yang telah berubah warna dan karakter itu.

“Kami tidak anti tambang. Tapi kami ingin kehidupan yang adil. Kalau tambang memang harus ada, tolong pastikan lingkungan kami tetap bisa memberi kehidupan,” kata seorang tokoh masyarakat setempat.

Warga menyuarakan satu tuntutan sederhana: keadilan ekologis. Mereka tidak menolak pembangunan, namun ingin pertambangan dilakukan dengan prinsip keberlanjutan dan kepedulian terhadap ekosistem laut serta keselamatan manusia.

Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tenggara, Andi Rahman turut angkat bicara. Dalam pernyataannya, ia mengecam keras lemahnya kontrol dan pengawasan negara terhadap aktivitas tambang yang menabrak hak-hak warga pesisir.

“Ini bukan sekadar soal lingkungan. Ini adalah perampasan ruang hidup. Pemerintah tak bisa terus berada di balik meja sambil menutup mata. Negara seharusnya hadir, bukan hanya sebagai regulator, tapi pelindung,” tandasnya. (A)